Brebesraya.com -Sinar
meredup dengan cepatnya di Kota Gedejaya pada sore akhir Maret itu. Masih
tampak di mata kehancuran dan kepulan asap menyelimuti akibat kerusuhan,
sehingga mengakibatkan rumah-rumah kayu berubah menjadi tumpukan arang.
Kota
yang penuh kedamaian itu kini tak ada beda dengan kota Agdam di Azerbaijan yang
porak poranda akibat perang nagorno karabakh pada tahun 1993. Suara jangkrik
yang biasa terdengar pun pergi, terusik angin panas sisa amukan si jago merah
yang tak kenal ampun melahap kokohnya rumah dan tempat ibadah yang
terbuat dari kayu jati.
“Anakku
segeralah masuk, angin di luar sedang berkabung bisa-bisa nanti kamu terserang
flu” kata bu Siti kepada Hadi anak semata wayangnya. Namun Hadi tertunduk lesu,
dengan tatapan kosong dia sesekali memandangi rumah tetangga samping kanannya.
tak lama kemudian hadi bertanya kepada ibunya “Bu, kenapa semua ini harus
terjadi?, aku tidak punya teman lagi selain Yani Sadewo”.
Yani
adalah sahabat Hadi sejak mereka masih duduk di taman kanak-kanak dan sekarang
mereka duduk di kelas 5 SD (Sekolah Dasar). Keduanya sering bermain bola di
taman dekat rumah, yang hanya berjarak dua blok dari sebrang jalan. Dengan
perawakan yang kecil, berkulit hitam dan berambut keriting Yani terkesan pandai
bermain bola, dan memang demikian Hadi selalu mengandalkan Yani apabila mengadu
bola dengan teman-teman sebayanya.
Hadi
kemudian duduk bersandar di tembok dan mendekapkan kakinya supaya hangat karena
dia agak sedikit kurus. Semakin lama dia melihat semakin nyata rumah Yani
dengan kepulan asap yang masih menyelimuti, dengan matanya yang semakin merah.
lamunan Hadi terusik oleh suara balik tembok tempat bersandar : “
Hadi sekarang sudah maghrib, buat apa melihat rumah orang kafir itu, cepat
masuk!,” teriak Agus ayah Hadi. Dengan langkah perlahan bu Siti menghampiri
Hadi dan membisikkan perlahan ke telingannya “ nak, cepat masuk dan ambil air
wudhu lalu kita shalat berjamaah, nanti ibu kasih kamu kue tape kesukaan kamu.
Tuh lihat bapakmu sudah marah."
Kemudian
dengan berat hati dan mata yang berkaca-kaca Hadi pun bergegas meninggalkan
teras rumah. Malam kian larut, rinai hujan turun membasahi Kota Gedejaya,
seakan membuka tabir yang terselimuti asap hitam. Keheningan malam dan suara
burung gagak yang beterbanganpun terdengar mencekam kegelapan.
Di
sisi lain pada sebuah Mushalla Al-Ahmad tempat pengungsian para Jamaah
Ahmadiyah, Yani juga tak bisa tidur memikirkan kejadian dua hari lalu yang
cukup membuatnya trauma. Karena, ayahnya yang bernama Abu terluka saat terjadi
penyerangan yang dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat yang mengatasnamakan umat Islam, padahal dalam ajaran islam sendiri tidak di ajarkan
melakukan penganiayaan dan penyerangan membabi buta.“Yani, sudah larut malam
tidurlah dulu, besok kan kamu harus sekolah” ujar bu Aminah kepada
Yani.
“iya
mah, nanti Yani bobo. Tapi Yani gak mau sekolah, Yani gak tau kenapa
teman-teman Yani di sekolah menyebut Yani anak sesat padahal Yani kan juga
orang Islam. Dan kata Pak Agus ayahnya Hadi, Yani gak boleh main lagi sama
Hadi.” Kata Yani dengan wajah polosnya.
"Gak
apa-apa Yan, mungkin Hadi lagi sakit jadi ga boleh main dulu sama kamu” jawab
bu Aminah dengan raut muka yang kasihan karena mendengar perkataan anaknya
tadi.
“lalu kenapa Ayah di pukulin sama orang-orang itu bu?” Tanya kembali dengan
wajah tertunduk lesu dan mata sayu, bu aminah bingung harus menjawab apa,
karena dirinya pun ikut menjadi kebrutalan kelompok organisasi masyarakat
tersebut. Kemudian dengan suara bergetar bu aminah menjawab “ itu hanya orang
yang ingin menagih uang ke Ayah Yan, makanya kamu belajar yang rajin ya supaya
hutang Ayah sama ibu bisa di lunasi”.
Lama
berbincang dengan ibunya Yani pun tertidur pulas di pangkuan sang
ibu. Suara kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan, gemercik air wudhu
membangunkan tidur lelap Yani, kumandang adzan di lantunkan tanpa pengeras
suara. Berbondong-bondong warga yang ada di pengungsian mengisi saf* dan melaksanakan shalat subuh.
Yani pun ikut shalat menghadap Illahi Rabbi. saat jam 06.00 WIB waktu untuk sarapan datang, Yani berkata kepada ibunya: “mah lapar, Yani mau susu sama roti”. Sang ibu kebingungan karena kebiasaan Yani setiap pagi adalah minum susu dan makan roti. Bu Aminah masih trauma untuk keluar-keluar tempat pengungsian karena takut menjadi sasaran amuk warga yang sudah terhasut kelompok organisasi masyarakat tersebut apalagi pa Abu yang biasa pergi mencari nafkah terbaring lemah karena luka-luka yang dideritanya.
Memang
tidak mudah untuk menghilangkan trauma apalagi penyebab dari permasalahannya
tidak di ketahui oleh bu Aminah dan anaknya.Apalagi yang terjadi kepada Yani,
sampai-sampai tidak mau keluar mushalla Al-Ahmad.
Di
rumah, Hadi melakukan shalat berjamaah dengan di pimpin bapaknya. Setelah
melakukan shalat berjamaah mereka bersama-sama membaca ayat suci al-qur’an.
Kemudian dilanjutkan rutinitas seperti biasanya.
Hari
mulai siang, jam menunjukan pukul 06.30 WIB. Biasanya Hadi dan Yani pergi
bersama menuju ke SD Arrahman dengan mengendarai sepeda dan ibu-ibu mereka
sibuk berbincang di depan rumah sembari mengantarkan suami-suami mereka di
depan pintu untuk pergi bekerja. Bisa dibilang mereka tetangga yang cukup
harmonis dan rukun.
Tetapi
pada hari itu mereka tidak seperti biasanya, Hadi hanya duduk sambil melihat
keluar lewat jendela di kamarnya.Bayang pohon beringin depan rumah mulai
merambat ke teras rumah Hadi, udara bersih yang biasa mengisi setiap rongga
dada dan celah ruang yang ada di gantikan dengan udara yang tidak bersahabat
menyesakan dada, kepulan asap sesekali terlintas di depan mata. Semua ini
berawal pada saat organisasi masyarakat yang mengatasnamakan islam menyerbu
jamaah Ahmadiyah yang dianggap mengakui adanya Nabi setelah nabi Muhammad.
Tetapi
Ayah Yani menganggap pemimpin mereka bukan Nabi, hanya sebatas pemimpin dan
pendiri jamaah. Cara mereka shalat, membaca al-qur’an, zakat, puasa-pun sama.
Dan semua menyembah Tuhan yang sama.
Suara
lantunan ayat suci terdengar syahdu di rumah Hadi, memecah keheningan malam
yang mencekam, ternyata itu suara bu aminah. namun dia terusik oleh suara sendu
yang mengusik kalbu. al-qur'an pun di ciumnya sebagai tanda berakhirnya
lantunan, bu aminah bergegas ke kamar Hadi. Dari belakang ibu Hadi memeluk dan
mengusap kepalanya, sambil berkata:“Kenapa anakku, kamu masih bermuram durja?”.
“Tak
apa bu" jawab hadi. Aku hanya bingung kenapa kita saling bermusuhan dan
saling memukul?” Tanya Hadi.
Sebenarnya
Hadi sudah tahu masalah itu karena diberi tahu oleh bu Dian yang biasa
mengajar mereka mengaji.“Padahal mereka dengan kita sama-sama menyembah Allah,
dan nabinya nabi Muhammad dan shalatnya pun sama?’ Tanya lagi.Sang ibu menjawab
“ iya nak tetapi kata pak walikota dan Majelis Ulama Kota Gedejaya mereka
sesat dan salah, jadi harus di usir dari kota ini.
“Tapi
bu, paman Nabi Muhammad saja tidak di usir dari kotanya padahal mereka
jelas-jelas orang kafir,” kata Hadi.
Bu
siti sedikit bingung kenapa anak sekecil ini bisa berkata demikian, setelah
berfikir agak lama dia menjawab: “memang anakku tetapi mereka para jamaah sudah
di katakana sesat oleh para ulama.”
Dengan
cepat Hadi menjawab “ tetapi mereka tidak mengganggu kita bu, dan kita
sama-sama orang islam satu tanah air Indonesia. Yang ada sekarang semuanya
hancur, sekolah aku rusak gara-gara yayasan itu milik jamaah Ahmadiyah, dan aku
kehilangan sahabat terbaikku. Apakah islam mengajarkan kita untuk saling
memusuhi.”
"tidak
anakku” jawab sang ibu sambil tertegun mendengar kata-kata itu.
“mungkin cara pandang mereka dan kita berbeda tetapi apakah harus dengan cara
perusakan seperti ini.” ujar Hadi.
“kamu
benar anakku, sebenarnya ibu pun sangat sedih melihat ini semua. Tetapi bapakmu
sangat fanatik terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasinya
tanpa berfikir dahulu apakah yang bapak lakukan benar atau salah.”
“
kapan ya bu, kita bisa berkumpul dengan keluarga Yani lagi?’ Tanya Hadi penuh
harap.
*saf = barisan dalam shalat.