• Jelajahi

    Copyright © brebesraya.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Find Us On Facebook

    Iklan

    Doa, Tawakkal dan Hawa Nafsu

    13 Maret 2023, 06:42 WIB
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     


    ﷽ Orang yang banyak berdoa, artinya ia meninggikan tawakkalnya kepada Allah ﷻ. Dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah ﷻ, doa adalah pengharapannya.

    Doa itu sendiri adalah ibadah. Bahkan dalam shalat, selain shalat bermakna doa, ada tujuh tempat untuk berdoa dalam shalat. Jika terlewat, berarti Anda telah menyia-nyiakannya.

    Imam Ibnul Qayyim menyebutkan ketujuh tempat berdoa tersebut dalam shalat, yakni:

    1. Setelah takbiratul ihram pada tempat dibaca doa istiftah.
    2. Dalam doa qunut shalat witir sebelum ruku’, setelah selesai membaca al-Fâtihah dan surah al-Qur’an. Ini juga disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
    3. Sebelum ruku Pada saat ruku’.
    4. Saat berdiri tegak dari ruku’.
    5. Pada saat sujud.
    6. Duduk.antara dua sujud.
    7. Setelah tasyahud sebelum salam.

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika terkumpul dalam doa (seorang hamba) hadirnya hati dan terfokusnya secara utuh kepada permohonan yang dimintanya, (waktu dia berdoa) bertepatan dengan salah satu dari enam waktu (yang dijanjikan padanya) pengabulan doa, yaitu:

    1. sepertiga malam yang terakhir
    2. ketika adzan (berkumandang)
    3. (waktu) di antara adzan dan iqamah
    4. di akhir shalat-shalat (lima waktu) yang wajib (sebelum salam)
    5. ketika imam (khatib) naik ke mimbar pada hari Jum’at sampai selesai shalat Jum’at
    6. dan akhir waktu (siang) setelah shalat Ashar (sebelum matahari terbenam) pada hari Jum’at

    Doa-doa tersebut disertai perasaan khusyu’ dalam hati, merendahkan diri, tunduk, pasrah dan mengakui kelemahan diri (di hadapan Allah ﷻ), dia berdo’a dalam keadaan suci (dari hadas), menghadap kiblat serta mengangkat kedua tangannya kepada Allah ﷻ.

    Dia memulai (doanya) dengan memuji dan menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala , lalu bershalawat atas Nabi Muhammad ﷺ, kemudian sebelum menyampaikan permohonannya, dia bertaubat dan beristigfar (memohon ampun kepada-Nya), setelah itu dia menyampaikan permohonannya kepada Allâh Azza wa Jalla, dengan merengek-rengek dan bersungguh-sungguh meminta, disertai perasaan takut dan berharap, bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha tinggi), dan mentauhidkan-Nya, serta terlebih dahulu bersedekah sebelum berdoa.

    Sungguh doa (seperti) ini hampir (pasti) tidak akan ditolak selamanya. Terlebih lagi jika do’a tersebut bersesuaian dengan doa-doa yang diberitakan oleh Rasûlullâh Muhammad ﷺ  bahwa doa-doa tersebut kemungkinan (besar) dikabulkan atau mengandung nama Allâh yang paling agung…”

    Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

    الدعاء من أنفع الأدوية، وهو عدو البلاء، يدافعه ويعالجه، ويمنع نزوله، ويرفعه، أو يخففه إذا نزل، وهو سلاح المؤمن
    الداء والدواء (1/11)

    “Doa merupakan salah satu obat yang paling bermanfaat. Doa merupakan lawan bagi bala, menghadangnya, mengobatinya, mencegah turunnya, mengangkatnya, meringankannya saat turun, dan merupakan senjata bagi seorang mukmin.” (Ad Da’u wad Dawa’ (1/11))

    Tawakkal

    Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tawakkal merupakan satu makna yang menempel pada dua dasar: percaya dan bersandar. Hal tersebut merupakan hakikat: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku memohon pertolongan.’ ”

    Dia mengatakan, ma’rifat (pengetahuan) merupakan tingkatan yang pertama, di mana seorang hamba meletakkan kakinya di (kedudukan) tawakkal. Ma’rifat adalah mengenal Rabb dan Sifat-Sifat-Nya, baik itu kemampuan, kekuasaan, kecukupan, berakhirnya segala urusan pada ilmu-Nya, kemunculannya dari kehendak-Nya, dan keyakinan pada kecukupan dari lindungan-Nya.

    Dia menjelaskan ada beberapa tingkatan dalam penafsiran tawakkal, di mana yang pertama adalah mengenal Allah, sebagaimana diuraikan di atas. Selain itu, pasrah, ridha, berprasangka baik, memantapkan hati pada pijakan tauhid, dan menyandarkan hati kepada Allah.

    Selanjutnya, memahami penetapan sebab-sebab, pemeliharaan, dan penerapannya. Tawakkal seorang hamba tidak akan lurus dan benar, kecuali dengan menetapkan sebab-sebab, karena tawakkal merupakan sebab yang paling kuat dalam mengantarkan pelakunya untuk sampai kepadanya.

    Inti dari semua itu, Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Tharîqul Hijratain:

    كلما قويَ إيمان العبد كان توكّله أقوى، وإذا ضعف الإيمان ضعف التوكل.

    “Semakin kuat imannya seorang hamba, semakin kuat juga tawakkalnya. Dan ketika imannya melemah maka lemah juga tawakkalnya.”

    Hawa Nafsu

    Imam Ibnu Qoyyim mengatakan, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya.” (Asbabut Takhallaush minal Hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3).

    Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya (ke dalam Neraka).” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3).

    Orang yang memperturutkan nafsu, hakikatnya mencari kenikmatan semu dan kepuasan nafsu sesaat di dunia, tanpa berpikir panjang akibatnya, walaupun harus rela kehilangan kenikmatan yang hakiki di dunia dan Akhirat.

    Nafsu diciptakan pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya. Sebab, kalaulah tidak ada nafsu makan, minum dan nikah, tentulah manusia akan mati dan punah, karena tidak makan, minum dan menikah.

    Nafsu mendorong manusia meraih perkara yang diinginkannya, sedangkan marah mencegahnya dari perkara yang mengganggunya dalam kehidupannya. Maka tidak selayaknya nafsu dicela atau dipuji secara mutlak tanpa pengecualian. Sebagaimana marah tidak boleh dicela atau dipuji secara mutlak pula.

    “Ketika sikap yang sering terjadi pada orang yang mengikuti nafsu, syahwat dan amarah tidak bisa berhenti sampai pada batas mengambil manfaat saja (darinya), karena itulah (banyak) disebutkan nafsu, syahwat dan amarah dalam konteks yang tercela. Karena dominannya bahaya yang ditimbulkannya (dan) jarang orang yang mampu bersikap tengah-tengah dalam hal itu (mengatur nafsu, syahwat, dan amarahnya)”  (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3)

    Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan:

    ‏العبد إذا أتبع هواه فسد رأيه و نظره
    فرأت نفسه الحسن في صورة القبيح
    والقبيح في صورة الحسن
    فالتبس عليه الحق بالباطل .
    [المصدر :  مدارج السالكين , جلد 1, ص. 483]

    “Seorang hamba apabila dia mengikuti hawa nafsunya, maka menjadi rusak penglihatannya dan pandanganya. Sehingga dia lihat dirinya yang sudah baik dalam bentuk yang jelek, dan yang jelek dalam bentuk yang baik. Maka jadilah terkaburkan atasnya antara yang haq dengan yang bathil.” (Sumber: Madarij as-Salikin, jilid 1, hlm. 483). (indonesiainside.id)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Tag Terpopuler

    Nasional

    +