• Jelajahi

    Copyright © brebesraya.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Find Us On Facebook

    Iklan

    Jaka Poleng, Abdi Dalem Bupati, Pengayom Masyarakat Brebes

    03 Maret 2023, 18:14 WIB
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     

    Brebesraya.com - Bagi masyarakat Brebes dan sekitarnya nama Jaka Poleng tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Banyak masyarakat Brebes yang meyakini bahwa Jaka Poleng adalah pemuda yang menjadi Abdi dalem bupati Brebes.

    Dikisahkan Jaka Poleng hilang wujud setelah menelan sisik ular yang ditemukannya di Pesawahan. Hingga saat ini masyarakat Brebes percaya bahwa pemuda ini masih hidup sebagai pengayom masyarakat Brebes. Padahal kejadian tersebut sudah lewat berabad-abad silam.

    Ada beberapa versi yang menceritakan kisah Jaka Poleng. Versi pertama yang berkaitan dengan Legenda Ciung Wanara, dimana sisik ular yang ditelan oleh pemuda tersebut adalah sisik ular dari Nagawiru. Yakni sosok jelmaan Ki Ajar Sukaresi alias Prabu Permana yang tidak lain adalah Ayahanda dari ciungwanara.

    Namun jika dikaitkan dengan masa hidup Rabu Permana yang kala itu memerintah kerajaan Galuh, sekitar abad ke-14 dengan Kabupaten Brebes sendiri yang baru terbentuk pada abad ke-17 rasanya seperti kurang cocok.

    Mungkin saja itu memang benar, dimana ada beberapa dugaan jika pemerintahan Brebes sendiri telah ada Jauh sebelum abad ke-17. Salah satunya dengan ditemukannya situs kuno peninggalan kerajaan. Tapi entah situs itu hasil peninggalan kerajaan atau bukan karena belum ada kepastian dari pihak arkeolog.

    Versi yang kedua seperti yang diceritakan oleh juru kunci Pendopo Kabupaten Brebes,dan juga versi yang kedua inilah yang banyak dikenal dan juga berkembang di masyarakat. Dalam versi ini Pemuda tersebut merupakan Abdi dalem dari Kanjeng Adipati Aria Singasari panatayuda satu.

    Adipati Aria Singasari panatayuda satu merupakan bupati Brebes kelima yang menjabat pada tahun 1809 sampai 1836.

    Kisah Jaka Poleng

    Konon Laksito ini sebenarnya adalah seorang pemuda yang sangat Sakti ia berasal dari Karawang, Jawa Barat. Dia kemudian Laksito mengembara hingga sampai ke kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

    Dalam pengembaraannya itu Laksito pun menyeberangi Sungai Pemali dan semenjak menyeberangi Sungai Pemali itulah kesaktian Laksito Pun Menghilang. Laksito kemudian berubah menjadi Pemuda biasa.

    Pada suatu hari Kanjeng Kyai Brebes mengadakan pengumuman bahwa dirinya mambutuhkan seorang Abdi dalem untuk merawat dan mengasuh kuda pribadinya. Yaitu kyai Genta atau yang dijuluki pula dengan sebutan sigambir.

    Dalam tradisi Jawa zaman dahulu sebutan Kyai memang dilekatkan tidak hanya kepada orang yang dituakan atau dihormati saja. Namun juga berlaku kepada lainnya termasuk pada benda-benda seperti kereta kencana gamelan ataupun hewan-hewan milik para raja-raja.

    Mendengar pengumuman itu akhirnya Laksito mengajukan diri kepada Kanjeng Kyai Brebes untuk bekerja di sana. Karena kinerjanya yang bagus Laksito pun kemudian menjadi Abdi Kinasih atau pembantu kesayangan dari Kanjeng Kyai Brebes.

    Dia anak gembala kesayangan Kanjeng Bupati, rapi pekerjaannya dan tekun ibadahnya. Setelah selesai merawat kuda, biasanya Laksito menikmati seduhan Teh Poci dan kue alu-alu yang tiap pagi sudah disediakan oleh bocah.

    Setelah itu barulah ia berangkat menuju pesawahan untuk mencari rumput hijau, makanan pokok untuk Kyai gentak. Dia biasanya mencari makanan kuda di kaki Bukit Wanasari yang rumputnya masih hijau dan lebat.

    Saat satu keranjang terisi penuh Laksito merasa lelah. Dia pun istirahat sejenak dan minum air dalam Kendi yang selalu dibawa dari pendopo dan selalu ia minum dibawah pohon besar.

    Saat mata Laksito mulai sayup menyahut hampir tenggelam dalam tidurnya tiba-tiba ia melihat ular belang ular belang besar dan memiliki mahkota emas di kepalanya. Saat melintas di depannya, Laksito pun keheranan dalam hatinya berkata Apakah saya sedang bermimpi atau tidak.

    Lalu Laksito menggerus gerus matanya beberapa kali setelah merasa yakin bahwa dirinya sedang tidak bermimpi. Laksito pun mengendap-endap dari belakang mengikuti kemana ular belang bermahkota emas itu akan pergi.

    Langkah kelok-kelok ular belang itupun berhenti di sebuah semak rimbun. Laksito hanya bisa melihat ekornya yang terus bergoyang-goyang kadang ke kanan kadang ke kiri dan sesekali memutar.

    "Apakah ini tafsir dari mimpiku semalam Karena tadi malam aku bermimpi bertemu dengan raja ular," kata Laksito memalingkan mukanya dan bergumam sendiri sambil jempolnya menyarung nyaruk janggutnya yang tidak terlalu lebat itu.

    Setelah sekian waktu Laksito terbengong sampai tak sadar bahwa ular belang bermahkota Mas itu telah pergi. Ular itu hanya meninggalkan selaput kulit benang-benang berwarna putih berkilau kilau.

    Lalu Laksito memungut sisik dua ular belang itu dan menyimpannya di kantong celananya. Setelah itu ia mulai lagi menyelesaikan pekerjaannya yaitu mengisi keranjang bambu wadah rumputnya sampai penuh.

    "Alhamdulillah selesai juga akhirnya," kata Laksito sambil menyeka keringat yang mengucur di dahinya dengan tangganya.

    Akhirnya Laksito pun pulang dengan memikul dua keranjang penuh rumput sekali untuk mengusir sepi. Dengan nafasnya yang terengah-engah ia berdendang lagu kesukaannya yaitu lagu Gambang Suling.

    Di sepanjang perjalanan pulang hingga sampai ke pintu gerbang Pendopo Kabupaten Brebes, Laksito merasakan ada hal yang aneh. Karena setiap orang yang berpapasan dengannya tak ada satupun orang yang menyapa atau menjawab sapaannya.

    Laksito pun terus berjalan menuju tempat penyimpanan pakan pakan kuda dan tidak memperdulikan hal aneh yang dia rasakan waktu diperjalanan tadi.

    Rumput sudah Laksito tempatkan di sebuah gubuk kecil yaitu tempat untuk menyimpan pakan pakan kuda sambil berjalan menuju Bi Ojah yang nampak sedang sibuk didapur.

    Laksito mengipas-ngipaskan ikat kepalanya yang sudah terlepas ke arah mukanya, sambil dahinya mengernyit mengarungi tatahan menadah sinar matahari yang jatuh di mukanya.

    Menjawab pertanyaan Laksito malah terperanjat sampai Abu dari Pawon atau Tungku yang sedang ditiup Bi Ojah dengan selongsong bambu berterbangan tak karuan beterbangan.

    "Duh Gusti Siapa itu," teriak Bio sambil mengusap usap muka yang kini berwarna putih.

    "Aku Inilah si Tobi aku di sini disamping bibit sawit," kata Laksito sambil merangkul tangan Bi Ojah yang sedang menodongkan selongsong bambu.

    Akhirnya Bi Ojah Pun berteriak-teriak minta tolong Sambil meronta-ronta mencoba melepaskan tangannya yang dipegang oleh Laksito yang sudah tanpa wujud itu.

    Mendengar suara gaduh dari dalam dapur, Gusti Kanjeng Bupati pun segera berlari keluar dan menuju Dimana arah suara Bi Ojah minta tolong.

    "Ampun Gusti tiada suara tapi tak ada wujudnya dan dia mengaku Laksito," ujar Bi Ojah sambil tergagap-gagap dan sambil matanya berkedip-kedip tanpa Irama ke Laksito.

    "Cah bagus Jaka Sigit, apa benar sejatinya Kau memanglah Laksito," ucapkan Kanjeng Bupati dengan tenang dan berwibawa

    "Ia Gusti ini hamba benar-benar Abdi Kinasih Laksito," kata suara tanpa wujud itu menyahuti pertanyaan Gusti Kanjeng Bupati.

    "Kenapa kamu bisa seperti ini ada apa gerangan coba ceritakanlah Laksito," tanya Gusti Bupati seolah-olah sedang berhadapan dengan sosok Laksito yang kasat mata.

    "Hamba sendiri bingung Gusti hanya saja tadi itu saya mencari rumput di sawah. Saya melihat ada ular yang meninggalkan sisiknya dan lalu saya mengambil sisik ular itu," Papar Laksito yang tanpa wujud itu.

    "Baiklah Laksito gimana kamu simpan sisik ular itu," Gusti Bupati melanjutkan introgasinya.

    "Di kantong celana Hamba Gusti," jawab Laksito.

    "Baiklah sekarang coba kamu keluarkan sisik ular itu singkirkan agak jauh dari badanmu," Gusti Bupati memberi saran sambil jari telunjuknya memberi aba-aba agar Laksito meletakkan sisik ular itu di atas meja makan bundar yang ada di dapur.

    Benar saja ketika sisik ular itu dikeluarkan dari kantong celana Laksito dan ditaruh di atas meja dapur sosoknya perlahan-lahan dapat terlihat kembali. Melihat wujud Laksito terlihat kembali Bi Ojah pun berteriak kegirangan dan langsung memeluk tubuh Laksito sembari menepuk-nepuk pundaknya.

    Usai sudah rasa takutnya Bi Ojah karena jika Laksito sampai benar-benar hilang dan menjadi manusia tanpa wujud. Pastilah ia akan sangat berduka dan sedih karena selama ini Bi Ojah sudah menganggap Laksito sebagai anaknya sendiri.

    Namun ternyata rasa senang dan bahagia Bi Ojah hanya akan berlangsung sebentar saja, karena tragedi besar dan sesungguhnya akan segera terjadi.

    "Nanti dulu," kata Gusti bupati yang melihat bahwa sisik ular yang dibawa Laksito itu Sakti, tiba-tiba saja timbul sebuah hasrat untuk memilikinya.

    "Oh iya sudah sekarang biar saya saja yang simpan sisik ular itu," pinta Gusti Bupati sambil tangganya mengangsur ke arah Laksito.

    "Mohon maaf Gusti hamba tidak dapat memberikannya Karena itu adalah amanat besar dari Tuhan untuk saya," jawab Laksito sambil memadukan Kedua telapak tangannya menyembah dan menundukkan kepalanya kepada Gusti bupatinya

    "Begini saja nanti saya naikkan jabatanmu menjadi carik," Rayu Gusti Bupati agar Laksito mau memberikan sisik ular tersebut.

    "Mohon maaf Gusti ini milik hamba karena hamba yang menemukannya amanat ini tidak bisa dinilai dengan harga ataupun jabatan. Karena ini merupakan amanat dari Tuhan yang harus hamba jaga sekali lagi hamba mohon maaf," Laksito pun tetap Teguh dengan pendiriannya bahwa Amanat adalah harga mati yang harus dijaga dengan baik.

    "Buat apa Laksito tidak ada gunanya kamu memiliki sisik ular itu," hardik Gusti Bupati sambil langkahnya merangsek ke depan menuju meja tempat sisik ular itu tergeletak.

    "Mohon maaf Gusti hamba terpaksa melawan Gusti," Laksito Pun bangun dari simpulnya dan serentak Mereka pun kini saling bergelut dan saling mendorong.

    Tubuh mereka beradu beberapa kali hampir tangan Gusti Bupati menjangkau sisik ular itu. Namun tenaga dan badan Laksito yang lebih besar tak cukup sebanding dengan Badan ceking Gustinya itu.

    Laksito mendorong Gusti Bupati hingga terjerembab, terhempas beberapa centi ambruk kelantai dan dengan cepat tangan Laksito mengambil sisik ular yang terseok-seok tertiup angin itu.

    Dimasukkan lah sisik itu kedalam mulutnya. Bermaksud hanya untuk menyembunyikannya dalam mulut saja akan tetapi Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih.

    Tanpa sengaja sisik ular itu tertelan oleh Laksito. Setelah sisik ular itu tertelan perlahan-lahan sedikit demi sedikit tubuh Laksito itu pun kembali hilang.

    Sebelum tubuh Laksito benar-benar hilang, nanar mata Laksito dan kata maafnya pun masih sempat jatuh dari bibirnya.

    "Maafkan Hamba Gusti, Maaf beribu maaf karena hamba Sudah berani melawan Gusti," kata dia dengan nafas yang masih terengah-engah.

    Gusti Bupati terbangun dari lantai sambil membenarkan letak ikat kepalanya yang sudah acak-acakan. Kini hatinya menjadi tak karuan karena selain hatinya menahan rasa amarah kecewa juga timbul rasa penyesalan yang kini berkecamuk di dalam hatinya.

    Sementara itu tangis Bi Ojah pecah mengiringi sosok Laksito yang kini raib ditelan bumi musnah menjadi udara. Laksito pemuda yang sudah dianggap oleh Bi Ojah seperti anaknya sendiri sehingga rasa Kehilangan itu sangat teramat dalam.

    Sementara itu, Gusti Bupati melangkah gontai perlahan, airmatanya terbendung. Di antara kelopak matanya nanar dan berkaca-kaca tangan kanannya memegang pinggangnya. Sementara tangan kirinya meregang dan menjulur ke depan.

    "Laksito bocah bagus maafkan gustimu ini yang hilaf gelap mata gelap hati oleh nafsu dan hasrat sisik itu. Memanglah menjadi hakmu bukan hakku," kata Bupati.

    Air matanya pun kini menetes lalu ia menyambung kata-katanya lagi.

    "Menyesal aku Laksito sungguh menyesal, Coba kalau aku tidak memaksa pasti tak akan seperti ini kejadiannya. Laksito Apakah kamu masih di sini bersama kami," ucap Gusti Bupati kepada Laksito.

    "Iya Gusti hamba masih di sini dan juga hamba sudah memaafkanmu. Mungkin ini memang sudah menjadi nasib aku. Tapi Gusti ijinkanlah hamba terus mengabdi di sini selamanya," jawab Laksito dengan suaranya yang bergetar berat.

    "Baiklah Laksito wujud mu kini sudah tak terlihat, permintaan dan perintah jika kamu ingin mengabdi selamanya di sini Tolonglah jaga rakyatku yaitu rakyat Brebes. Karena kamu masih perjaka dan juga menelan sisik ular poleng makan namamu akan aku ganti menjadi Jaka Poleng," kata Gusti Bupati.

    Ular Poleng yang bermahkotakan emas itu adalah salah satu Abdi Hyang Antaboga yaitu Dewa dari bangsa ular yang turun ke bumi. Konon siapapun yang sudah terjamah untuk melihat proses pergantian kulitnya, itu maka ia akan mendapatkan berkah dari sisiknya yang bertuah itu.

    Konon sisik itu merupakan jembatan penghubung antara dua dunia yaitu dunia gaib dan dunia nyata. Jadi siapapun yang menemukan atau memiliki sisik ular itu maka secara langsung ia bisa hidup dalam dua dunia yaitu dunia gaib dan dunia nyata.

    Konon salah satu kelebihan lainnya dari pemilik sisik ular itu, akan secara langsung memiliki ajian upasanta yaitu ajian yang membuat lidahnya bisa berbisa.  Jadi makhluk hidup apapun yang dijilatnya maka akan menemui ajal. Pemilik ajian ini juga mampu berjalan di atas sungai dan juga Samudra.

    Sampai saat ini masyarakat Brebes beranggapan jika Jaka Poleng ini masih hidup. Konon beberapa orang pernah melihat penampakan sosok Jaka Poleng ini dalam wujud Satria gagah berwajah manusia dan berbadan ular.

    Mitos masyarakat di pesisir Kali Pemali Brebes berkembang, bahwa sebelum banjir datang ular Jaka Poleng ini terlihat membendung Hulu Sungai Kali Pemali sebelum banjir datang.

    Hal itu bertujuan agar sapi-sapi yang digembalakan di hutan dan orang-orang yang bekerja di seberang Kali Pemali bisa pulang dengan selamat.

    Itulah tadi legenda dari Brebes yaitu Jaka Poleng. Kisahnya diceritakan turun-temurun dan dari waktu ke waktu. Meski tak ada bukti otentik seperti legenda batu Malin Kundang tetapi kisah ini banyak mengandung Ibrah dan tauladan di baliknya.

    Bahwa amanat itu sangat berharga dan tak ternilai. Serta kekerasan dan pemaksaan kehendak akan selalu berakhir dengan keburukan. (Tualang Brebes)


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Tag Terpopuler

    Nasional

    +